Mitigasi Bencana Alam Berbasis Masyarakat: Membangun Ketahanan Ekologis dari Desa

Dalam satu dekade terakhir, Indonesia menghadapi peningkatan signifikan dalam frekuensi dan intensitas bencana ekologis seperti banjir, longsor, dan kekeringan. Data terbaru dari Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) dan Dinas Lingkungan Hidup pada tahun 2025 mencatat lebih dari 3.000 kejadian bencana alam di seluruh Indonesia, dengan dampak paling besar terjadi di wilayah pedesaan. Desa yang menjadi tumpuan kehidupan mayoritas masyarakat Indonesia sering kali berada di kawasan rawan, seperti lereng gunung, bantaran sungai, atau daerah pesisir.

Kondisi tersebut menunjukkan bahwa ketahanan ekologis bangsa tidak bisa hanya dibangun dari kota besar, tetapi harus dimulai dari desa. Masyarakat desa memiliki kedekatan langsung dengan alam, baik dalam kehidupan sehari-hari maupun dalam struktur sosial budayanya. Dengan memahami potensi dan risiko di lingkungannya, masyarakat desa memiliki kemampuan luar biasa dalam beradaptasi dan mengurangi risiko bencana, asalkan didukung dengan pendekatan yang tepat dan berkelanjutan.

Konsep Mitigasi Berbasis Masyarakat

Mitigasi bencana berbasis masyarakat atau Community-Based Disaster Risk Management (CBDRM) adalah pendekatan yang menempatkan masyarakat sebagai pelaku utama dalam upaya pengurangan risiko bencana. Berbeda dengan pendekatan top-down yang didominasi oleh kebijakan pemerintah pusat, model ini menekankan pada partisipasi aktif warga dalam mengenali ancaman, merencanakan strategi pencegahan, serta melaksanakan aksi nyata di tingkat lokal.

Warga desa bergotong royong menanam pohon di lereng bukit sebagai upaya mitigasi bencana ekologis

Pendekatan ini tumbuh dari kesadaran bahwa masyarakat lokal paling memahami kondisi geografis, sosial, dan budaya wilayahnya. Mereka tidak hanya menjadi korban bencana, tetapi juga agen perubahan dalam melindungi lingkungannya. Melalui pendekatan berbasis komunitas, pengetahuan lokal digabungkan dengan inovasi modern untuk menghasilkan sistem mitigasi yang relevan dan efektif.

Model ini memiliki beberapa keunggulan: adaptif terhadap kondisi lokal, efisien dalam penggunaan sumber daya, serta memperkuat kohesi sosial di tengah masyarakat. Pendekatan tersebut juga menciptakan rasa tanggung jawab bersama terhadap alam dan lingkungan, yang sejalan dengan misi Dinas Lingkungan Hidup dalam membangun kesadaran ekologis masyarakat.

Kearifan Lokal sebagai Pilar Ketahanan Ekologis

Kearifan lokal telah lama menjadi fondasi dalam pengelolaan lingkungan di berbagai daerah di Indonesia. Banyak masyarakat adat memiliki sistem tradisional yang terbukti mampu menjaga keseimbangan alam dan mencegah terjadinya bencana ekologis. Nilai-nilai budaya ini tumbuh dari pengalaman berabad-abad dan mencerminkan hubungan harmonis antara manusia dan alam.

1. Subak di Bali: Harmoni Air dan Manusia

Salah satu contoh nyata adalah Subak di Bali, sebuah sistem irigasi tradisional yang mengatur distribusi air pertanian berdasarkan prinsip kebersamaan dan keseimbangan ekosistem. Subak tidak hanya menjaga ketersediaan air, tetapi juga mencegah kekeringan dan degradasi tanah.

2. Sasi Laut di Maluku: Melindungi Ekosistem Laut

Di wilayah Maluku, dikenal praktik Sasi Laut, yaitu tradisi menutup sementara area laut tertentu agar ekosistem dapat pulih dari eksploitasi. Praktik ini berperan penting dalam menjaga keberlanjutan sumber daya laut sekaligus mengurangi risiko kerusakan ekologis.

3. Hutan Larangan di Sumatera Barat

Di Sumatera Barat, masyarakat adat menerapkan sistem Hutan Larangan, di mana kawasan tertentu dijaga ketat dari aktivitas penebangan. Sistem ini secara alami melindungi daerah resapan air dan mencegah potensi banjir serta longsor.

Kearifan lokal seperti ini menjadi bukti bahwa pengetahuan tradisional tetap relevan dalam mitigasi bencana modern. Dengan memperkuat praktik budaya tersebut, masyarakat desa dapat membangun ketahanan ekologis tanpa kehilangan identitas budayanya, selaras dengan arah kebijakan pelestarian lingkungan yang digalakkan Dinas Lingkungan Hidup.

Kolaborasi Desa dan Teknologi dalam Pengendalian Bencana

Perpaduan antara pengetahuan lokal dan teknologi modern menciptakan pendekatan yang lebih adaptif dalam pengendalian bencana. Kolaborasi antara masyarakat desa, lembaga riset, dan Dinas Lingkungan Hidup menjadi kunci dalam membangun sistem mitigasi yang tangguh.

1. Sistem Peringatan Dini Berbasis Komunitas

Beberapa desa di Jawa Tengah mulai memanfaatkan aplikasi Early Warning System berbasis data BMKG yang dikombinasikan dengan observasi warga. Melalui sistem ini, masyarakat menerima peringatan dini potensi banjir atau longsor langsung melalui pesan singkat di telepon seluler.

2. Pemantauan Lingkungan dengan Drone

Penggunaan drone untuk memantau kondisi hutan, lahan, dan sungai kini makin populer di daerah rawan bencana. Teknologi ini membantu masyarakat mendeteksi perubahan lingkungan secara cepat sebelum berujung pada bencana.

3. Pemetaan Rawan Bencana dengan GIS

Penerapan sistem informasi geografis (GIS) di tingkat desa membantu pemetaan kawasan rawan bencana dan menjadi dasar perencanaan tata ruang yang lebih adaptif. Dengan dukungan data dari Dinas Lingkungan Hidup, masyarakat dapat menentukan zona aman untuk permukiman, lahan pertanian, dan jalur evakuasi (sumber: https://dlhkotablitar.id/).

Integrasi antara teknologi dan pengetahuan lokal menghasilkan pendekatan yang efisien dan berorientasi pada solusi jangka panjang. Desa tidak hanya menjadi objek kebijakan, tetapi juga pusat inovasi ekologis berbasis partisipasi warga.

Pemberdayaan Komunitas dalam Pengurangan Risiko Bencana

Kunci keberhasilan mitigasi berbasis masyarakat terletak pada pemberdayaan komunitas. Tanpa partisipasi aktif warga, program mitigasi sulit berkelanjutan. Pemberdayaan ini mencakup pendidikan, pelatihan, hingga penguatan ekonomi lokal.

1. Pendidikan dan Kesadaran Lingkungan

Edukasi tentang bencana perlu dimasukkan dalam kurikulum sekolah dan kegiatan masyarakat. Program Sekolah Adiwiyata yang diinisiasi Dinas Lingkungan Hidup telah membantu membentuk generasi muda dengan kesadaran ekologis sejak dini.

2. Pembentukan Desa Tangguh Bencana

Program Desa Tangguh Bencana (Destana) melibatkan warga dalam perencanaan kontinjensi, simulasi evakuasi, hingga pengelolaan pos siaga. Beberapa desa seperti Sirahan di Magelang dan Kemiren di Banyuwangi menjadi contoh keberhasilan model ini.

3. Penguatan Ekonomi Hijau

Pemberdayaan ekonomi juga penting bagi ketahanan ekologis. Program seperti pengolahan limbah organik, ekowisata, dan pertanian berkelanjutan membantu meningkatkan kesejahteraan tanpa merusak lingkungan.

Tantangan dalam Implementasi Mitigasi Berbasis Masyarakat

Meski ideal, pelaksanaan mitigasi berbasis masyarakat masih menghadapi banyak hambatan. Keterbatasan pendanaan, kurangnya koordinasi antarinstansi, dan perubahan nilai budaya menjadi tantangan utama.

1. Keterbatasan Sumber Daya dan Pendanaan

Banyak desa menghadapi kendala sumber daya manusia dalam hal teknis dan manajerial. Program mitigasi sering berhenti setelah bantuan luar usai. Dukungan teknis berkelanjutan dari Dinas Lingkungan Hidup menjadi krusial.

2. Kurangnya Integrasi Kebijakan

Hubungan antara pemerintah dan masyarakat desa kadang masih bersifat top-down, membuat program mitigasi sulit diterapkan secara efektif.

3. Pergeseran Nilai Budaya

Modernisasi memicu pergeseran nilai dan gaya hidup, menyebabkan sebagian masyarakat meninggalkan praktik tradisional yang bernilai ekologis tinggi. Revitalisasi budaya lokal menjadi penting agar kearifan lama dapat diadaptasi dengan kebutuhan masa kini.

Strategi Penguatan Ketahanan Ekologis Desa di Masa Depan

Untuk membangun ketahanan ekologis yang kokoh, desa perlu diperkuat melalui strategi kolaboratif antara masyarakat, pemerintah, dan lembaga pendidikan.

1. Kebijakan Partisipatif

Pemerintah dan Dinas Lingkungan Hidup perlu memberi ruang lebih besar bagi masyarakat untuk berperan dalam perencanaan dan pengawasan program mitigasi.

2. Revitalisasi Pengetahuan Tradisional

Kearifan lokal harus didokumentasikan, dipelajari, dan diintegrasikan ke dalam sistem pendidikan serta kebijakan lingkungan.

3. Peningkatan Kapasitas Desa

Pelatihan dan pendanaan berkelanjutan membantu masyarakat memanfaatkan teknologi mitigasi dan data ilmiah secara optimal.

4. Kolaborasi Multi Pihak

Dunia pendidikan dan organisasi masyarakat dapat menjadi mitra strategis dalam riset, inovasi, dan pendampingan program mitigasi.

5. Ekonomi Berbasis Konservasi

Pengembangan ekowisata, pertanian organik, dan pengelolaan sumber daya alam lestari menjadi solusi ekonomi sekaligus upaya mitigasi.

Ketahanan Ekologis Dimulai dari Akar Budaya

Mitigasi bencana alam berbasis masyarakat bukan sekadar pendekatan teknis, melainkan gerakan sosial dan budaya. Desa yang berdaya, sadar lingkungan, dan memegang nilai-nilai lokal adalah fondasi kuat bagi ketahanan ekologis nasional.

Ketika masyarakat memahami bahwa menjaga alam berarti menjaga kehidupan, setiap langkah kecil di tingkat desa akan berdampak besar pada masa depan bumi. Dinas Lingkungan Hidup berperan strategis memastikan kebijakan berjalan selaras dengan aspirasi masyarakat lokal.

Membangun ketahanan ekologis dari desa berarti menjaga lingkungan sekaligus merawat warisan budaya dan identitas bangsa. Dengan sinergi antara tradisi, masyarakat, dan dukungan lembaga lingkungan, Indonesia memiliki peluang besar menjadi contoh dunia dalam pengembangan mitigasi bencana berkelanjutan.

Posting Komentar untuk "Mitigasi Bencana Alam Berbasis Masyarakat: Membangun Ketahanan Ekologis dari Desa"