Kebijakan, Regulasi, dan Peran Lembaga dalam Rehabilitasi Ekosistem Mangrove dan Gambut

Indonesia memiliki ekosistem mangrove dan gambut terluas di dunia yang berperan penting dalam menjaga keseimbangan iklim global. Berdasarkan data terbaru Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) tahun 2024, luas mangrove nasional mencapai sekitar 3,36 juta hektare, sementara lahan gambut mencakup lebih dari 13 juta hektare (sumber: http://dlhdepok.org/). Kedua ekosistem ini berfungsi sebagai penyerap karbon, pelindung wilayah pesisir, serta sumber penghidupan bagi masyarakat lokal.

Sayangnya, eksploitasi sumber daya alam, pembukaan lahan untuk pertanian dan industri, serta pembangunan infrastruktur yang tidak terkendali telah menyebabkan degradasi signifikan. Akibatnya, banyak kawasan mangrove hilang dan lahan gambut menjadi kering serta rentan terbakar. 

Dampak ekologisnya sangat besar: peningkatan emisi karbon, penurunan kualitas air, dan hilangnya keanekaragaman hayati. Karena itu, kebijakan nasional yang kuat dan koordinasi antar lembaga menjadi elemen kunci dalam mengembalikan fungsi ekosistem ini.

Landasan Kebijakan Nasional Terkait Rehabilitasi Mangrove dan Gambut

Kebijakan, Regulasi, dan Peran Lembaga dalam Rehabilitasi Ekosistem Mangrove dan Gambut

Rehabilitasi mangrove dan gambut tidak dapat dilakukan tanpa payung hukum yang jelas. Pemerintah Indonesia telah menyusun sejumlah regulasi untuk memastikan upaya ini berjalan terarah dan berkelanjutan.

1. Undang-Undang dan Peraturan Pemerintah

Kerangka hukum utama berlandaskan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup serta Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan. Regulasi ini memperkuat peran pemerintah dalam mencegah kerusakan ekosistem dan mempercepat proses rehabilitasi.

Selain itu, Peraturan Presiden Nomor 120 Tahun 2020 membentuk Badan Restorasi Gambut dan Mangrove (BRGM), lembaga khusus yang bertugas mengoordinasikan dan mempercepat program pemulihan ekosistem. BRGM menjadi ujung tombak restorasi nasional dengan pendekatan berbasis sains, kolaboratif, dan partisipatif.

2. Strategi Nasional Rehabilitasi Gambut dan Mangrove

Pemerintah menargetkan rehabilitasi 600 ribu hektare mangrove hingga 2024 dan pemulihan 1,2 juta hektare lahan gambut terdegradasi. Program ini merupakan bagian dari strategi menuju Net Zero Emission 2060. Strategi nasional ini menekankan pentingnya kolaborasi lintas sektor serta penguatan data pemantauan berbasis geospasial agar implementasi di lapangan lebih efektif.

3. Sinergi Antar-Kementerian dan Pemerintah Daerah

Pelaksanaan kebijakan rehabilitasi melibatkan banyak instansi seperti Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), serta pemerintah daerah. Koordinasi antar-kementerian sangat penting agar tidak terjadi tumpang tindih kewenangan terutama di kawasan pesisir yang kompleks. Pemerintah daerah memiliki peran penting dalam menyesuaikan kebijakan nasional dengan kondisi sosial-ekonomi lokal.

Peran Lembaga dalam Implementasi Kebijakan Rehabilitasi

Sinergi kelembagaan menentukan efektivitas kebijakan rehabilitasi. Berikut peran lembaga-lembaga utama yang terlibat.

1. Badan Restorasi Gambut dan Mangrove (BRGM)

BRGM berperan mempercepat pemulihan fungsi ekologis mangrove dan gambut. Fokusnya mencakup tujuh provinsi prioritas, antara lain Riau, Jambi, Kalimantan Tengah, dan Papua. Program utama BRGM mencakup tiga kegiatan inti:

  • Rewetting: pembasahan kembali lahan gambut melalui pembangunan sekat kanal.

  • Revegetation: penanaman kembali jenis tumbuhan asli untuk mengembalikan keanekaragaman hayati.

  • Revitalization: peningkatan ekonomi masyarakat lokal melalui kegiatan ramah lingkungan seperti ekowisata dan perikanan berkelanjutan.

BRGM juga memperkuat kolaborasi dengan akademisi dan komunitas lokal untuk memastikan program berjalan sesuai prinsip keberlanjutan.

2. Peran Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK)

KLHK berperan dalam penyusunan kebijakan nasional, pengawasan kegiatan rehabilitasi, serta pengelolaan dana lingkungan. Melalui Direktorat Jenderal Pengendalian DAS dan Hutan Lindung, KLHK memastikan setiap kegiatan rehabilitasi sesuai dengan rencana tata ruang dan indikator keberhasilan.

KLHK juga mengembangkan Sistem Pemantauan Mangrove Nasional (SIMAN) dan Geoportal Gambut Indonesia sebagai sarana pelaporan berbasis data terbuka. Teknologi ini membantu transparansi dan memperkuat akuntabilitas publik terhadap hasil rehabilitasi.

3. Dukungan Lembaga Non-Pemerintah dan Komunitas Lokal

Peran organisasi non-pemerintah seperti Wetlands International, WWF Indonesia, dan Yayasan Kehati turut memperkuat pendekatan berbasis masyarakat. Mereka melakukan riset, edukasi, serta pendampingan komunitas pesisir dan pedalaman agar memahami manfaat jangka panjang dari rehabilitasi.

Keterlibatan masyarakat lokal terbukti efektif, terutama dengan penerapan sistem adat seperti sasi laut di Maluku dan lubuk larangan di Sumatera yang menjaga keseimbangan ekosistem secara tradisional.

Pendanaan dan Skema Kerja Sama dalam Rehabilitasi

Untuk menjembatani kesenjangan antara kebijakan dan implementasi, dukungan finansial dan kemitraan multipihak menjadi fondasi penting.

1. Pendanaan Pemerintah dan Dana Internasional

Sumber pendanaan berasal dari APBN, hibah luar negeri, hingga mekanisme carbon credit. Indonesia telah menjalin kerja sama dengan lembaga internasional seperti Green Climate Fund (GCF), UNDP, dan World Bank untuk mendukung proyek restorasi berbasis iklim.

Pendanaan inovatif juga dikembangkan melalui Payment for Ecosystem Services (PES), di mana pihak swasta dapat berpartisipasi dalam pembiayaan rehabilitasi untuk mengompensasi emisi karbon.

2. Model Kolaborasi Multipihak

Kemitraan antara pemerintah, sektor swasta, dan masyarakat sipil mempercepat implementasi kebijakan. Contoh konkret adalah proyek Mangrove for Coastal Resilience (M4CR) yang berhasil memulihkan ribuan hektare kawasan mangrove di Sulawesi dan Kalimantan. Kolaborasi seperti ini menegaskan bahwa rehabilitasi ekosistem bukan hanya tanggung jawab negara, tetapi seluruh elemen bangsa.

Tantangan dalam Implementasi Regulasi dan Kebijakan

Meskipun memiliki kerangka kebijakan yang kuat, implementasi di lapangan masih menghadapi beberapa hambatan.

1. Tumpang Tindih Regulasi dan Kewenangan

Banyak wilayah pesisir berada di bawah kewenangan lintas kementerian, menyebabkan kebingungan dalam penegakan aturan. Sinkronisasi kebijakan menjadi penting agar program rehabilitasi tidak saling tumpang tindih.

2. Kurangnya Data dan Pemantauan Berkelanjutan

Kendala teknis lain adalah kurangnya data spasial yang mutakhir. Integrasi antara data satelit, pemantauan komunitas, dan sistem digital perlu diperkuat untuk meningkatkan efektivitas pengawasan.

3. Kendala Sosial dan Ekonomi

Di beberapa daerah, masyarakat enggan mendukung program rehabilitasi karena khawatir kehilangan sumber mata pencaharian. Pemerintah perlu memastikan bahwa setiap program membawa manfaat ekonomi langsung, seperti peluang ekowisata dan budidaya ikan ramah lingkungan.

Arah Kebijakan ke Depan dan Rekomendasi

Keberhasilan rehabilitasi ekosistem mangrove dan gambut bergantung pada keberlanjutan kebijakan dan penguatan kelembagaan.

1. Integrasi dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional

Rehabilitasi ekosistem harus menjadi bagian dari RPJPN 2025–2045 (sumber: http://dlhdepok.org/). Pendekatan ini menempatkan ekosistem mangrove dan gambut sebagai infrastruktur alami yang mendukung ketahanan iklim, pangan, dan ekonomi nasional.

2. Digitalisasi dan Teknologi Pemantauan

Pemanfaatan teknologi seperti drone, satelit, dan data geospasial dapat membantu pemantauan kondisi ekosistem secara real-time. Dengan sistem terbuka, masyarakat dan akademisi juga dapat berkontribusi dalam pengawasan dan pelaporan.

3. Peningkatan Kapasitas Lembaga Lokal dan Komunitas Adat

Pemberdayaan komunitas lokal adalah kunci keberhasilan jangka panjang. Pemerintah perlu memberikan pelatihan, dukungan teknis, serta pengakuan terhadap peran masyarakat adat yang selama ini menjaga ekosistem berdasarkan nilai budaya dan spiritual mereka.

Kesimpulan

Rehabilitasi ekosistem mangrove dan gambut di Indonesia bukan sekadar proyek lingkungan, tetapi investasi jangka panjang bagi masa depan bangsa. Kebijakan nasional, dukungan regulasi yang konsisten, serta sinergi antar lembaga menjadi pilar penting dalam mewujudkan keseimbangan ekologi dan ekonomi.

Dengan kolaborasi multipihak dan pendekatan berbasis pengetahuan lokal, Indonesia berpotensi menjadi contoh global dalam pengelolaan ekosistem berkelanjutan. Rehabilitasi yang berhasil bukan hanya mengembalikan fungsi alam, tetapi juga menjaga budaya, identitas, dan kehidupan masyarakat di sekitarnya.

Posting Komentar untuk "Kebijakan, Regulasi, dan Peran Lembaga dalam Rehabilitasi Ekosistem Mangrove dan Gambut"